Revisi Undang-Undang Pemilu : Momentum Merekonstruksi Ulang Penegakan Hukum Pemilu

23 Views

Penulis : Muhamad Mutapin, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Jambi

Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) saat ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2026. Pembahasan Revisi Undang-Undang tersebut siap dibahas tahun 2026 antara DPR dan Pemerintah.  Komisi II DPR yang membidangi urusan Politik dan Pemerintahan per januari 2026 akan mengundang sejumlah kelompok pemerhati Pemilu untuk memberikan masukan terhadap pembahasan revisi Undang-Undang tersebut.  Revisi Undang-Undang Pemilu tidak hanya sebagai tindak lanjut dari Putusan MK 135/PUU-XIII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dengan tujuan untuk mengurangi beban penyelenggara Pemilu, tetapi juga bagian dari evaluasi dan rekonstruksi ulang penyelenggaraan khususnya dalam penegakan hukum Pemilu.

Penyelenggaraan Pemilu yang Langsung, Bebas, Umum, Rahasia, Jujur dan Adil (Luberjurdil) sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945 ibarat pepatah jauh panggang dari api, yang memiliki makna masih jauh dan belum sesuai dengan yang diharapkan. Maka revisi Undang-Undang Pemilu tahun 2026 merupakan momentum dalam rangka merekonstruksi ulang penegakan hukum Pemilu. Sistem hukum sebagaimana dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu pertama Struktur Hukum (Legal Structure), kedua Substansi Hukum (Legal Substance) dan ketiga Budaya Hukum (Legal Culture). Revisi Undang-Undang Pemilu tersebut akan sangat mempengaruhi ketiga komponen sistem hukum di atas khususnya Substansi Hukum (Legal Substance).

Penegakan hukum Pemilu dalam proses pelaksanaannya dilaksanakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memiliki kewenangan dalam hal pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan. Meskipun telah diberikan kewenangan dalam hal penegakan hukum pemilu dengan tujuan untuk menciptakan Pemilu yang berintegritas, nyatanya Bawaslu masih memiliki kelemahan-kelemahan yang berimplikasi dalam proses menjalankan kewenangan itu. Kelemahan – kelemahan tersebut tidak hanya terdapat pada komponen Legal Structure nya tetapi terutama bermasalah dari segi Legal Substance nya yaitu Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang atau yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pemilihan. Kedua undang-undang tersebut sebagaimana disebutkan diatas belum penulis sebutkan isi pasal-pasalnya namun sudah terlihat kelemahannya yaitu inkonsistensi. Bagaimana 2 (dua) undang-undang memiliki proses yang sama yaitu pelaksanaan pencoblosan yang semua prosesnya hampir sama seperti kesamaan  lembaga penyelenggara yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP. Kesamaan proses pencoblosan yaitu pencoblosan langsung. Kesamaan Penegakan Hukum Pidana Pemilu oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Kesamaan dalam hal menindak netralitas ASN dan kesamaan-kesamaan lainnya, namun diatur di dalam 2 (dua) rezim undang-undang yang berbeda. Yang mana penulis menyampaikan meskipun terdapat kesamaan prinsip penyelenggaraan tetapi di dalam aturan regulasi secara umum dan teknis menimbulkan inkonsistensi yang sangat nyata. Inkonsistensi tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan penegakan hukum Pemilu.

Revisi Undang-Undang Pemilu berkaitan dengan Penegakan Hukum Pemilu setidaknya harus merekonstruksi ulang beberapa hal diantaranya Pertama Merekonstruksi ulang kewenangan Bawaslu dalam Penegakan Hukum Pemilu. Kedua Merekonstruksi Ulang isi Pasal-Pasal Pidana Pemilu dan;. Ketiga, Merekonstruksi ulang aturan teknis dan prosedur Bawaslu dalam melakukan Penindakan Pelanggaran Pemilu.

Merekonstruksi ulang kewenangan Bawaslu untuk menciptakan Pemilu yang berintegritas. Bawaslu diberikan kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum pemilu, namun kewenangan ini tidaklah serta merta membuat leluasa dalam proses penindakannya, dimana nyatanya Bawaslu dalam memproses penanganan dugaan pelanggaran Pemilu sangat membutuhkan peran lembaga lain untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Misalnya proses penegakan pelanggaran netralitas ASN. Bawaslu berkaitan dengan pelanggaran netralitas ASN memiliki kewenangan untuk menerima dan memproses dugaan pelanggaran netralitas ASN, dengan semua resources nya, Bawaslu melakukan proses penerimaan laporan dari masyarakat ataupun temuan, selanjutnya melakukan proses klarifikasi dan sampai pada akhirnya pembuatan kajian hukum untuk memutuskan terdapat dugaan pelanggaran yang dilakukan atau tidak, nah disinilah permasalahan kewenangan tersebut muncul. Dengan segala upaya yang dilakukan Bawaslu meskipun pada kesimpulan terdapat dugaan pelanggaran Netralitas ASN dilengkapi dengan Kajian Hukum dan Alat Bukti, namun Bawaslu pada akhirnya hanya memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada lembaga lain untuk menindaklanjuti hasil penanganan pelanggaran yang dilakukan Bawaslu. Rekomendasi dalam bahasa hukum dapat dimaknai boleh dilaksanakan atau tidak, dan di dalam praktiknya lembaga yang menerima penerusan rekomendasi yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang saat ini telah dibubarkan dan sekarang kewenangan penerusan kepada BKN memiliki prosedur sendiri untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Sehingga rekomendasi Bawaslu belum tentu sejalan dengan hasil penanganan yang dilakukan oleh lembaga lain tersebut. Maka dari itu Bawaslu harus diberikan kewenangan dalam bentuk memutuskan dan menjatuhkan hukuman kepada ASN yang diduga melakukan pelanggaran, sehingga lembaga lain tersebut hanya bersifat menjalankan apa yang telah diputuskan oleh lembaga Pengawas Pemilu.

Hal ini terlihat juga dalam proses penanganan pelanggaran pidana Pemilu pada Sentra Gakkumdu yang terdiri dari Unsur Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Di dalam praktiknya apabila salah satu lembaga menyatakan tidak setuju untuk dilanjutkan proses penerusan ke penyidikan maka proses penanganan Pidana akan berhenti, sehingga seringkali penanganan terhenti karena masih banyak sekali terdapat perbedaan pandangan sedangkan proses penanganan dibatasi waktu yang sangat singkat dari segi regulasi dan prosedur. Undang-Undang Pemilu hanya memberi Bawaslu fungsi koordinatif dan fasilitatif  dalam Sentra Gakkumdu namun Bawaslu sebetulnya memerlukan peran lebih dari itu baik kewenangan penyidikan secara mandiri maupun kewenangan untuk memutuskan suatu perkara diteruskan atau tidak sehingga tidak bergantung kepada lembaga lain. Maka dari itu di dalam Revisi Undang-Undang Pemilu Bawaslu diberikan kewenangan untuk menjadi lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan mandiri dan kewenangan memutuskan, tidak hanya lembaga yang berfungsi sebagai lembaga koordinatif dan fasilitatif.

Merekonstruksi Pasal-Pasal Pidana di dalam Undang-Undang Pemilu. Proses pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu yang Luber Jurdil di dalam penegakan nya harus diberikan aturan hukum bersifat lex certa (yang jelas dan tidak ambigu). Ambiguitas dalam penerapan selain bertentangan dengan asas lex certa juga menjadi peluang bagi pihak untuk melakukan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu, akibatnya banyak kasus yang pada akhirnya berhenti ditengah jalan akibat ambiguitas unsur-unsur Pasal Pidana Pemilu. Selain ambiguitas, konsisten hukum di dalam Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan harus menjadi concern para pemangku kebijakan, inkonsistensi memberikan arti bahwa terdapat masalah dalam regulasi kepemiluan di Indonesia. Inkonsistensi tersebut dapat dilihat dari salah satunya dari subjek hukum pelaku money politic. Di dalam Undang-Undang Pemilu subjek yang dapat dikenai hukuman pidana yaitu hanya Pemberi sedangkan di dalam Undang-Undang Pemilihan subjek yang dapat dikenakan pidana tidak hanya si pemberi, namun si penerima juga dapat ditindak secara pidana. Maka dari itu revisi Undang-Undang Pemilu sangat penting dilakukan khususnya merekonstruksi Pasal-Pasal Pidana di dalam Pemilu

Merekonstruksi ulang aturan teknis dan prosedur Bawaslu dalam melakukan Penindakan Pelanggaran Pemilu. Tidak hanya pasal-pasal pidana yang perlu dilakukan penataan ulang namun teknis dan prosedur penegakan hukum Pemilu juga harus direkonstruksi untuk menciptakan due process of law dalam penegakan hukum Pemilu. Waktu penanganan yang sangat terbatas tidak hanya dapat mencederai proses penegakan hukum namun juga menjadi celah bagi pelaku kejahatan pelanggaran Pemilu untuk memanfaatkan peluang melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hukum. Jangka waktu yang sangat singkat dalam proses penanganan pelanggaran Pemilu yaitu 3 hari + (2 hari tambahan bila diperlukan) di dalam Undang-Undang Pemilihan dan 7 hari + (7 hari tambahan apabila diperlukan) di dalam Undang-Undang Pemilu merupakan waktu yang sangat singkat, padahal setiap kasus memiliki kerumitan tersendiri, disisi lain penegakan hukum pemilu bukanlah dituntut dari segi kuantitas atau berapa banyak kasus yang ditangani namun haruslah mengutamakan kualitas sehingga dapat menjamin hukum yang berkeadilan.

Revisi Undang-Undang Pemilu yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas menjadi momentum terbaik dalam menata ulang penyelenggaraan Pemilu khususnya dalam penegakan hukum Pemilu. Masukan semua pihak seperti penggiat Pemilu, Masyarakat, Penyelenggara, dan Akademisi tentu sangat dibutuhkan untuk menciptakan regulasi Pemilu yang komprehensif untuk menciptakan Pemilu yang luber jurdil. Selain itu Politik Hukum DPR dan Pemerintah sebagai regulator harus mengedepankan kepentingan Nasional, dan tidak terjebak kepada kepentingan elit politik dan partai semata. Karena sejatinya Demokrasi yang sehat harus dimulai dengan penyelenggaraan yang sehat demi melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang kompeten dan memiliki tujuan semata-mata untuk kepentingan Nasional.

Tinggalkan Balasan