Globalisasi Hukum: Mengapa Masalah Hukum Kita Disebut “Ketinggalan Kereta”?

43 Views

Globalisasi Hukum: Mengapa Masalah Hukum Kita Disebut “Ketinggalan Kereta”?

Penulis : Khairun Istiqomah, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi

 

Saat mendengar kata globalisasi, banyak orang langsung terpikir soal internet cepat, barang impor murah, dan budaya luar yang gampang masuk. Namun, dari sudut pandang Sosiologi Hukum, globalisasi bukan hanya soal teknologi dan ekonomi. Globalisasi juga membawa perubahan cara orang berperilaku, berkomunikasi, dan bertransaksi, sementara hukum sering tertinggal di belakang.

Contoh yang sangat terasa adalah judi online dan pinjaman online ilegal. Aplikasi dan situs seperti ini sangat mudah diakses lewat ponsel, bahkan oleh orang-orang di desa. Banyak yang akhirnya terlilit utang, kehilangan harta, bahkan rumah tangga hancur. Di sisi lain, penegak hukum sering kesulitan menindak pelaku karena server berada di luar negeri dan jaringan pelakunya lintas negara. Di sini terlihat, kejahatan sudah “melampaui batas negara”, sedangkan hukum kita masih dibatasi wilayah.

Masalah lain muncul di media sosial. TikTok, Instagram, dan YouTube membawa budaya global yang mengutamakan kebebasan berekspresi, sensasi, dan popularitas. Sering kali, orang membuat konten hinaan, fitnah, atau pelecehan dengan alasan “cuma bercanda” atau “demi engagement”. Padahal, masyarakat kita masih menjunjung tinggi nilai sopan santun, rasa hormat, dan etika. Akhirnya, banyak konflik terjadi: ada yang dipolisikan, ada yang merasa dikriminalisasi, ada juga yang merasa kebebasannya dibatasi. Ini menunjukkan benturan antara nilai global di dunia maya dan norma lokal di dunia nyata.

Perubahan juga terjadi di dunia kerja. Driver ojek online, kurir paket, dan pekerja lepas di platform digital adalah produk langsung dari globalisasi teknologi. Mereka bekerja keras, tetapi status mereka sering tidak jelas: bukan karyawan tetap, namun juga tidak sepenuhnya dianggap mitra yang setara. Akibatnya, mereka kurang mendapat jaminan seperti tunjangan, cuti, atau perlindungan saat kecelakaan. Hukum ketenagakerjaan kita belum sepenuhnya menyesuaikan dengan model kerja baru ini.

Di sisi lain, sebagai konsumen, kita menikmati kemudahan belanja online dari luar negeri. Tetapi ketika barang yang datang ternyata palsu, rusak, atau tidak sesuai deskripsi, proses komplain sering rumit. Apalagi jika penjual berada di luar negeri, hukum perlindungan konsumen di Indonesia menjadi sulit menjangkaunya. Masyarakat merasa dirugikan, namun hukum seperti tidak berdaya.

Dari berbagai contoh tersebut, Sosiologi Hukum membantu kita melihat satu pola yang sama: globalisasi mengubah cara hidup kita dengan cepat, sementara hukum sering terlambat menyesuaikan diri. Akibatnya, banyak masalah yang muncul di masyarakat bukan hanya karena “kurang taat hukum”, tetapi karena aturan yang ada belum cocok dengan kenyataan baru yang dibawa oleh globalisasi.

Artinya, yang perlu diperbaiki bukan hanya perilaku masyarakat, tetapi juga cara hukum dibangun dan diperbarui. Hukum seharusnya tidak hanya mengejar perubahan, tetapi juga berusaha memahami dan mengantisipasinya, supaya bisa benar-benar melindungi masyarakat di tengah arus global yang terus bergerak.

Tinggalkan Balasan