Kontroversi Legalitas Crypto

23 Views

Penulis : Endi Subentra, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Jambi

Cryptocurrency, sebagai fenomena global, telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks hukum di Indonesia. Sebagai sebuah instrumen digital yang berkembang pesat, cryptocurrency sering kali menjadi bahan perdebatan di banyak negara, termasuk Indonesia, mengenai status hukumnya. Dalam pandangan sosiologi hukum, perdebatan ini bukan hanya soal legalitas formal di bawah undang-undang, tetapi juga bagaimana hukum berinteraksi dengan dinamika sosial, nilai-nilai masyarakat, dan perkembangan teknologi yang pesat.

Dalam konteks hukum Indonesia, cryptocurrency secara resmi diakui sebagai aset digital atau komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar berjangka. Berdasarkan regulasi yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), cryptocurrency seperti Bitcoin dan Ethereum dapat diperdagangkan melalui bursa yang terdaftar, tetapi tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Bank Indonesia (BI), sebagai otoritas moneter, telah menegaskan bahwa cryptocurrency tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang sah, dan hanya rupiah yang sah menurut undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, meskipun crypto bisa diperdagangkan sebagai aset investasi, penggunaannya dalam transaksi sehari-hari dilarang.

Dalam perspektif sosiologi hukum, hukum bukan hanya dipahami sebagai aturan yang kaku dan objektif, tetapi sebagai produk dari interaksi antara masyarakat, norma sosial, dan sistem hukum yang berlaku. Hukum dalam konteks ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Dalam kasus cryptocurrency, ada pertarungan antara hukum formal yang ada dan perubahan sosial yang dibawa oleh perkembangan teknologi.

Perkembangan teknologi finansial, terutama cryptocurrency, menggambarkan transformasi sosial yang signifikan. Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, semakin familiar dengan penggunaan cryptocurrency sebagai sarana investasi. Namun, masyarakat luas masih belum sepenuhnya memahami potensi risiko dan manfaat dari transaksi cryptocurrency. Di satu sisi, muncul ketakutan akan dampak negatif dari cryptocurrency, seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, dan fluktuasi harga yang ekstrem. Di sisi lain, kelompok masyarakat tertentu melihatnya sebagai peluang ekonomi yang bisa memberikan imbal hasil tinggi.

Dari sudut pandang sosiologi hukum, munculnya cryptocurrency membawa tantangan dalam hal adaptasi hukum terhadap perubahan sosial. Regulasi yang ada sering kali tertinggal dibandingkan dengan kemajuan teknologi, yang pada gilirannya menciptakan kesenjangan antara norma hukum dan praktik sosial yang berkembang. Ketidakpastian ini juga menciptakan ketidakstabilan di pasar, karena banyak orang berinvestasi dalam cryptocurrency tanpa pemahaman yang cukup tentang risikonya.

Proses pembentukan hukum di Indonesia tidak hanya bergantung pada keinginan untuk melindungi masyarakat dari risiko, tetapi juga pada upaya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan global. Sosiologi hukum mengajarkan bahwa perubahan normatif adalah proses yang dinamis, di mana hukum harus dapat menanggapi perkembangan sosial tanpa mengabaikan aspek keadilan dan kepentingan publik.

Sebagai contoh, di negara-negara yang lebih maju, regulasi terkait cryptocurrency lebih fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan pasar digital. Di Indonesia, meskipun ada upaya dari pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap cryptocurrency sebagai komoditas, masih ada ketidakpastian yang perlu diselesaikan dalam hal peran cryptocurrency dalam ekonomi Indonesia. Negara perlu mengembangkan regulasi yang lebih komprehensif dan dapat menjaga keseimbangan antara melindungi kepentingan masyarakat dan mendorong inovasi teknologi.

Dari sudut pandang sosiologi hukum, legalitas cryptocurrency di Indonesia mencerminkan dinamika antara hukum yang ada dengan perubahan sosial yang dibawa oleh teknologi baru. Meskipun hukum Indonesia mengakui cryptocurrency sebagai aset digital yang sah untuk diperdagangkan, penggunaan cryptocurrency sebagai alat pembayaran tetap dilarang. Hal ini menunjukkan bagaimana hukum berusaha untuk mengatur sesuatu yang baru dalam konteks sosial yang berkembang dengan cepat, namun juga harus memperhatikan ketidakpastian dan dampak negatif yang bisa timbul.

Perdebatan tentang legalitas cryptocurrency, meskipun lebih sering dipandang dari sudut pandang hukum positif, juga harus dilihat sebagai bagian dari proses pembaruan hukum yang menanggapi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Sebagai masyarakat yang terus berkembang, Indonesia perlu meninjau kembali regulasi yang ada, tidak hanya untuk mengatasi tantangan yang muncul, tetapi juga untuk mengoptimalkan potensi positif yang ditawarkan oleh teknologi digital, sembari tetap menjaga keberlanjutan nilai-nilai hukum dan sosial yang berlaku.

Tinggalkan Balasan