Penulis : Bella Arliyanti, NIM : P2B125095, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi
Globalisasi dan digitalisasi telah melahirkan masyarakat digital (digital society), di mana media sosial menjadi ruang utama komunikasi publik. Dalam konteks negara demokrasi, kebebasan berekspresi merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Namun, kebebasan tersebut tidak bersifat absolut. Negara memiliki kewajiban menjaga ketertiban umum melalui pembentukan hukum, salah satunya melalui UU ITE. Dalam perspektif sosiologi hukum, kondisi ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah UU ITE berfungsi sebagai pelindung masyarakat digital atau justru sebagai alat pengendalian sosial yang represif?
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Pasal 27 ayat (3) berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.” Salah satu kritik utama terhadap UU ITE adalah adanya pasal-pasal yang dianggap multitafsir, seperti pasal mengenai pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Dalam praktiknya, pasal-pasal tersebut sering digunakan dalam konflik antarindividu dan berpotensi dimanfaatkan oleh pihak yang memiliki kekuasaan lebih besar.
Dalam sosiologi hukum, pasal karet mencerminkan ketidakseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas sosial. Pasal 27 ayat (3) dianggap lentur karena tidak memberikan batasan yang jelas mengenai: ukuran penghinaan, standar pencemaran nama baik dan konteks kepentingan publik. Kondisi ini membuat penerapan pasal sangat bergantung pada interpretasi aparat penegak hukum dan kekuatan pelapor. Hukum kemudian beroperasi bukan hanya sebagai sistem norma, tetapi sebagai arena relasi kuasa. Individu dengan posisi sosial lemah lebih rentan dikriminalisasi, sementara kelompok berkuasa memiliki akses lebih besar untuk menggunakan pasal ini sebagai alat perlindungan reputasi. Selain itu, Pasal 28 ayat (2) yang mengatur ujaran kebencian sering kali menimbulkan persoalan dalam menentukan batas antara kebebasan berpendapat dan hasutan kebencian. Ketidakjelasan ini menciptakan ruang abu-abu yang rentan disalahgunakan, terutama dalam konteks politik dan kekuasaan.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan relasi kekuasaan dalam penegakan hukum. Hukum yang seharusnya menjadi alat perlindungan justru dapat berubah menjadi alat kontrol sosial yang represif jika tidak diterapkan secara proporsional. Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Melalui ponsel pintar, masyarakat dapat menyampaikan pendapat, kritik, dan pengalaman pribadi secara instan. Fenomena ini memperluas ruang kebebasan berekspresi, tetapi sekaligus menimbulkan risiko hukum. Di Indonesia, UU ITE hadir sebagai instrumen hukum untuk mengatur aktivitas di ruang digital. Namun, dalam praktiknya, banyak kasus menunjukkan bahwa ekspresi di media sosial dapat berujung pada proses pidana. Kondisi ini menarik untuk dianalisis melalui kacamata sosiologi hukum, yang menempatkan hukum dalam konteks sosial dan relasi kekuasaan.
Hukum berfungsi sebagai alat pengendalian sosial (social control). UU ITE bertujuan menjaga ketertiban di ruang digital dengan membatasi konten yang dianggap melanggar hukum, seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Akan tetapi, penerapan pasal-pasal tertentu dalam UU ITE sering kali memunculkan kesan bahwa hukum digunakan sebagai alat pembungkaman. Masyarakat menjadi lebih berhati-hati bahkan takut untuk berpendapat, karena khawatir unggahan atau komentar di media sosial dapat dipidana.
UU ITE merupakan produk globalisasi dan perubahan sosial digital. Namun, penerapannya di Indonesia menunjukkan kecenderungan pergeseran fungsi hukum dari perlindungan kebebasan berekspresi menuju pengendalian sosial. Oleh karena itu, penegakan UU ITE harus dilakukan secara hati-hati, proporsional, dan berorientasi pada keadilan substantif agar hukum tetap memiliki legitimasi sosial. Tanpa itu, jempol yang seharusnya menjadi alat partisipasi justru berubah menjadi sumber ketakutan.






