TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA (TPPM) TERUS TERJADI: FAKTOR SOSIAL ATAU LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM HAM DI INDONESIA?

22 Views

Penulis : Agung Gumelar, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Jambi

Perdagangan manusia atau human trafficking merupakan suatu pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia dengan memanfaatkan seseorang melalui penipuan, pemaksaan, perbudakan, prostitusi bahkan pengambilan organ secara paksa demi mendapatkan keuntungan. Dari tahun ke tahun kasus perdagangan manusia selalu meningkat. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) hingga bulan Juni 2025 tercatat total korban tindak pidana perdagangan manusia sebanyak 2.281 orang, dimana sebagian besar korban adalah perempuan dewasa dan anak-anak. Hal ini dikarenakan perdagangan manusia sering kali menargetkan kelompok rentan dengan modus mengiming-imingi pekerjaan mudah dan gaji besar, terutama di daerah pedesaan.

Dalam perspektif sosiologi hukum, faktor-faktor sosial seperti kemiskinan, kurangnya lapangan pekerjaan, tingkat pendidikan yang rendah, dan pengaruh sosial budaya tertentu menyebabkan seseorang (terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak) mudah menjadi korban. Hal ini seharusnya dapat membantu para pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus pada aspek hukum pidana, tetapi juga solusi sosial ekonomi jangka panjang.

Faktor sosial lainnya adalah kurangnya kesadaran hukum dikalangan masyarakat yang membuat seseorang tidak menyadari hak-hak mereka dan risiko dari tindak pidana perdagangan manusia. Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah melalui sosialisasi dan edukasi hukum diberbagai lapisan masyarakat.

Para korban yang mengalami tindak pidana perdagangan manusia akan mengalami dampak sosial berat, dari segi mental, fisik dan psikologisnya sampai dengan kehormatan juga martabatnya yang menyebabkan korban kehilangan masa depan. Dalam hal ini perspektif HAM menjadi landasan kuat dalam setiap proses penegakan hukum untuk memastikan perlindungan dan kesejahteraan korban yang efektif, seperti kerahasiaan identitas, restitusi, rehabilitasi medis dan sosial, serta reintegrasi kepada masyarakat. Tanpa pendekatan seperti ini korban akan sulit pulih dan rentan dieksploitasi kembali.

Penegakan hukum atas tindak pidana perdagangan manusia sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pemberantasan Tindak Kejahatan Perdagangan Orang. Subtansi seperti aturan hukum dan perundangan-undangannya sudah sangat baik namun dalam implementasinya sering terjadi hambatan, seperti kesenjangan hukum dari berbagai yurisdiksi, hukuman yang tidak memadai yang akhirnya tidak memberikan efek jera terhadap pelaku, prosedur hukum yang rumit juga menghambat penuntutan dan pemulihan korban. Hambatan lain yang sering kali terjadi adalah hambatan struktural dan Lembaga seperti keterbatasan sumber daya baik formil maupun materil, minimnya kordinasi dan kerjasama antar Lembaga pemerintah seperti polisi, Lembaga imigrasi dan Lembaga sosial, dan intervensi dari oknum-oknum penegak hukum.

Dalam upaya mewujudkan perlindungan dan penegakan HAM, Negara atau pemerintah harus menjadi penanggung jawab utama dan hukum serta peraturan perundang-undangan sebagai wadah karena jaminan mengenai perlindungan dan penegakan HAM hanya akan ada pada negara hukum demokrasi, dengan paham hukum negara yang demikianlah HAM dapat bersemayam.

Tinggalkan Balasan