Penulis : Khairun Istiqomah, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi
Bayangkan dunia bisnis seperti medan pertempuran, di mana setiap keputusan bisa menjadi penentu nasib perusahaan. Di tengah badai kepailitan, direksi sering kali berdiri di garis depan, harus mengambil risiko besar demi menyelamatkan perusahaan dari kehancuran. Di sinilah Business Judgment Rule (BJR) hadir sebagai perisai hukum yang melindungi mereka. Prinsip ini diatur dalam Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, yang melindungi direksi dalam mengambil keputusan bisnis dengan itikad baik, kehati-hatian, demi kepentingan perusahaan, dan tanpa benturan kepentingan, meskipun keputusan itu berujung pada kerugian atau kepailitan.
Namun, perisai ini tidak selalu sempurna. Standar itikad baik dan kehati-hatian dalam UU PT tidak dijelaskan secara rinci, sehingga penafsirannya sering kali bergantung pada diskresi pengadilan. Akibatnya, direksi bisa saja terjerat tuntutan hukum meskipun keputusannya sudah sesuai dengan prinsip BJR. Hal ini menunjukkan bahwa di balik aturan hukum, ada dinamika politik hukum yang sangat memengaruhi bagaimana perlindungan bagi direksi diberikan dalam praktik.
Salah satu contoh nyata adalah kasus kepailitan PT Garuda Indonesia pada tahun 2020. Direksi perusahaan mengambil keputusan untuk restrukturisasi utang dan mengalihkan aset demi menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Meskipun keputusan ini menuai kritik dan tuntutan dari sejumlah kreditor, pengadilan akhirnya memutuskan bahwa direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi karena mereka dapat membuktikan bahwa keputusan diambil dengan itikad baik, kehati-hatian, demi kepentingan perusahaan, dan tanpa benturan kepentingan. Kasus ini menunjukkan bagaimana politik hukum berperan dalam menyeimbangkan kepentingan berbagai pihak dan memberikan perlindungan bagi direksi.
Namun, tidak semua kasus berakhir dengan perlindungan penuh. Dalam beberapa kasus kepailitan perusahaan swasta, pengadilan sering kali menilai bahwa direksi tidak memenuhi standar itikad baik atau kehati-hatian. Misalnya, dalam kasus PT X yang mengalami kebangkrutan, direksi dinyatakan bertanggung jawab secara pribadi karena tidak mampu membuktikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar demi kepentingan perusahaan, dan ada indikasi benturan kepentingan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan BJR sangat bergantung pada bukti dan penilaian pengadilan, serta standar yang masih kabur.
Di balik semua ini, ada tarik-menarik kepentingan antara pelaku usaha, regulator, dan masyarakat. Politik hukum terlihat dari bagaimana norma hukum dibentuk dan diterapkan untuk melindungi direksi, sekaligus menyeimbangkan kepentingan berbagai pihak dalam dunia usaha. Proses pembentukan dan penerapan hukum tidak lepas dari pengaruh sosial, politik, dan ekonomi yang terus berkembang. Dengan memahami dinamika politik hukum, kita bisa melihat bagaimana BJR menjadi instrumen penting dalam melindungi direksi, sekaligus menciptakan keseimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam pengelolaan perusahaan.
Business Judgment Rule bukan hanya sekadar aturan hukum, tapi juga cerminan dari nilai-nilai keberanian, profesionalisme, dan tanggung jawab sosial. Dengan memahami tantangan dan relevansinya dalam konteks politik hukum, BJR bisa menjadi perisai hukum yang melindungi direksi di tengah badai kepailitan, sekaligus mendorong keadilan dan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Namun, masih banyak permasalahan yang perlu dikupas tuntas, seperti ketidakjelasan standar itikad baik dan kehati-hatian, diskresi pengadilan dalam penafsiran norma, serta perlunya regulasi yang lebih spesifik untuk mengatur penerapan BJR dalam konteks kepailitan. Selain itu, penting pula untuk mengkaji bagaimana BJR bisa mencegah penyalahgunaan perlindungan hukum oleh direksi, sekaligus menjaga keseimbangan antara kepentingan perusahaan, kreditor, dan pemegang saham. Dengan mengupas tuntas permasalahan ini, diharapkan BJR dapat menjadi instrumen hukum yang lebih efektif dan adil bagi seluruh pihak terkait.






