Penulis : Andi Ardhya Aiswary, P2B125062, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Jambi 2025
Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) sebagai dampak globalisasi telah mengubah pola interaksi sosial masyarakat. Perubahan teknologi dan digitalisasi yang terus berkembang membuat masyarakat merasakan perlunya perlindungan data pribadi mereka agar kenyamanan dan keamaan data mereka. Media sosial tidak lagi sekadar ruang komunikasi, tetapi telah menjadi arena ekonomi dan kekuasaan baru berbasis pengelolaan data pribadi pengguna.
Di Indonesia, jutaan orang setiap hari menggunakan media sosial tanpa benar-benar memahami bagaimana data pribadi mereka dikumpulkan, dianalisis, dan dimanfaatkan oleh platform digital global. Persetujuan penggunaan data memang diberikan secara formal, namun sering kali melalui syarat dan ketentuan yang panjang, rumit, dan sulit dipahami masyarakat awam.
Kasus Sosial di Ruang Digital
Pengguna media sosial di Indonesia banyak mengeluhkan munculnya iklan dan konten yang sangat sesuai dengan aktivitas pribadi mereka. Hal ini terjadi karena platform media sosial menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk mengumpulkan dan menganalisis data pengguna, seperti lokasi, riwayat pencarian, dan interaksi digital. Persetujuan penggunaan data memang diberikan saat pendaftaran akun. Namun, syarat dan ketentuan yang panjang serta sulit dipahami membuat persetujuan tersebut bersifat formal semata. Secara sosial, pengguna berada pada posisi lemah karena minimnya literasi digital dan ketimpangan informasi.
Akibatnya, data pribadi berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi tanpa perlindungan yang memadai. Kasus ini menunjukkan bahwa hukum perlindungan data pribadi masih tertinggal dari perkembangan teknologi, sehingga diperlukan regulasi dan pengawasan yang lebih berpihak pada keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia di era globalisasi digital. Secara hukum, pengguna dianggap telah menyetujui pemrosesan data. Namun secara sosial, masyarakat berada pada posisi lemah akibat rendahnya literasi digital dan minimnya pilihan alternatif. Situasi ini menunjukkan bahwa hukum tidak cukup dipahami sebagai aturan tertulis, tetapi harus dilihat sebagai institusi sosial yang hidup dan berinteraksi dengan realitas masyarakat.
Hukum yang Tertinggal dari Globalisasi Digital
Dalam perspektif sosiologi hukum, globalisasi digital menghadirkan tantangan serius bagi hukum nasional. Arus teknologi dan kepentingan ekonomi global bergerak jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan negara dalam membentuk dan menegakkan regulasi. Platform media sosial membawa nilai efisiensi, keuntungan, dan algoritma standar global yang kerap berbenturan dengan nilai sosial lokal, seperti keadilan sosial, martabat manusia,
dan budaya masyarakat. Jika hukum tidak mampu merespons kondisi ini, maka legitimasi sosial hukum akan melemah.
Dari sisi kekuatan, AI dan media sosial membuka peluang inovasi ekonomi dan memperluas partisipasi publik. Namun kelemahannya terletak pada lemahnya perlindungan hukum, rendahnya literasi digital, serta ketertinggalan regulasi. Di sisi lain, globalisasi digital juga membuka peluang reformasi hukum agar lebih berpihak pada perlindungan hak asasi manusia dan kelompok rentan. Ancaman terbesar datang dari dominasi korporasi global, manipulasi algoritma, dan pengawasan digital yang berlebihan terhadap kehidupan masyarakat.
Kasus penggunaan AI dan data pribadi di media sosial menunjukkan bahwa hukum di era globalisasi tidak boleh hanya bersifat teknis dan reaktif. Hukum harus hadir sebagai alat perlindungan sosial yang menempatkan manusia sebagai pusat regulasi. Tanpa pendekatan sosiologi hukum yang kuat, hukum berisiko menjadi sekadar fasilitator kepentingan ekonomi global. Hukum yang berkelanjutan adalah hukum yang mampu menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan nilai keadilan sosial, martabat manusia, dan kepercayaan masyarakat.






