Bangko, kabarupdate.id — Di sebuah rumah kecil di ujung Jalan Siberut, tepat di RT 015 Desa Sungai Sahut, Kecamatan Tabir Selatan, hidup seorang perempuan lanjut usia dengan tubuh yang mulai renta, penglihatan yang semakin kabur, dan langkah yang tak lagi kuat menopang. Namanya Kartijah, 62 tahun, seorang nenek yang kini tinggal seorang diri setelah suaminya meninggal beberapa tahun lalu. Anak-anaknya tiga orang, sudah berkeluarga dan menetap jauh dari kampung halaman.
Hampir setiap hari, ia duduk di pintu rumah kayunya, menghitung napas sambil berharap ada kabar baik, atau setidaknya ada yang mengetuk pintu membawa kabar kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kartijah berjualan kecil-kecilan di rumah, kadang ditemani anaknya jika sempat pulang. Namun ketika sakit kambuh dan uang obat tak lagi ada, ia hanya bisa bersabar, berharap ada yang peduli.
Sore itu, Jumat (12/12), doa itu akhirnya dijawab. Sekira pukul 15.00 WIB, di tengah hawa sejuk dan suara angin yang menggoyang daun bambu, sebuah rombongan kecil berhenti di depan rumah Kartijah. Mereka datang bukan dengan formalitas, melainkan dengan wajah-wajah penuh empati. Di sana tampak Kapolsek Tabir Selatan AKP Fatkur Rohman didampingi Bripka Bambang Ade W selaku Bhabinkamtibmas, serta para relawan dari Yayasan Pundi Amal Jumat Berkah Tabir Selatan.
Mereka datang membawa semangat cooling system, sebuah konsep patroli sambang yang tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga mendinginkan suasana sosial dengan memperkuat hubungan dan hadir di tengah warga yang membutuhkan.
Dan di sore Jumat itu, pintu rumah Kartijah menjadi saksi bagaimana tugas kepolisian melampaui batas formalitas.
“Assalamu’alaikum, nek,” sapa Kapolsek, mengetuk pintu perlahan.
Butuh beberapa detik sebelum Kartijah muncul dari balik tirai lusuh. Langkahnya tertatih, wajahnya lelah, namun matanya tampak berbinar ketika melihat kedatangan mereka.
“Wa’alaikumsalam… pak dari jauh datang menengok saya…” suaranya bergetar, antara terharu dan tak percaya.
Tanpa menunda, rombongan pun masuk, menyalami, menenangkan, dan mulai menata bingkisan bantuan di ruang tamu kecil itu. Ada beras 15 kilogram, telur satu karpet, teh botol dua kotak, roti dua bungkus, minyak goreng, gula pasir, hingga uang tunai Rp700 ribu. Bantuan sederhana namun bermakna besar bagi seseorang yang kerap tidak punya uang untuk membeli obat.
“Kami datang untuk silaturahmi, nek. Kami ingin dengar apa yang nenek rasakan, apa yang nenek butuhkan,” ujar Fatkur dengan suara lembut.
Kartijah menunduk, mengusap sudut matanya. “Saya cuma ingin bisa beli obat kalau kaki saya sakit… kadang tak ada uang, Pak.”
Kapolsek mengangguk. Ia mencatat, menanyakan apakah Kartijah telah memiliki BPJS atau KIS. Bila belum, ia berjanji akan menguruskan. Ia juga memeriksa apakah ada bantuan pemerintah yang belum diterima sang nenek.
“Kami akan bantu urus ya, nek. Ini bukan sekali ini saja kami datang,” tambahnya.
Di sudut ruangan kecil itu, suasana menjadi hangat. Bukan semata karena bantuan yang dibawa, tetapi karena perhatian yang selama ini jarang singgah.
Program cooling system memang dirancang untuk menciptakan rasa aman dan damai. Namun sore itu, ia menjelma menjadi sesuatu yang lebih besar, yakni jembatan kemanusiaan.
Bhabinkamtibmas Bripka Bambang Ade W berdialog panjang dengan Kartijah, menanyakan keluhan sehari-hari, kondisi usaha kecilnya, hingga kesulitannya beraktivitas karena sakit kaki dan penglihatan yang mulai kabur. Para relawan dari Pundi Amal Jumat Berkah turut memberikan motivasi, menyampaikan bahwa Kartijah tidak sendirian menghadapi hidup.
“Kami ingin nenek tetap semangat. Penyakit bisa datang, tapi semangat jangan hilang,” kata salah satu relawan sembari menggenggam tangan sang nenek.
Kartijah tersenyum – senyum yang jarang muncul belakangan ini.
Menjelang matahari tenggelam, rombongan itu pamit. Namun sebelum pergi, Kapolsek memastikan sesuatu.
“Nek, kami akan datang lagi. Kalau ada apa-apa, kabari Bhabinkamtibmas ya. Jangan dipendam sendiri.”
Kartijah mengangguk. Ia mengantar mereka hingga teras, dengan langkah yang tertatih namun hati yang jauh lebih ringan.
Ketika motor dan mobil patroli menjauh, Kartijah berdiri cukup lama di depan rumahnya, memandangi sore yang berubah warna. Ada perasaan baru yang hadir, rasa diperhatikan, rasa dihargai, rasa tidak ditinggalkan.
Rumah kecil itu kembali sunyi. Namun tidak lagi sesepi kemarin.
Karena hari itu, seseorang mengetuk pintu bukan sekadar untuk bertanya kabar, tetapi untuk membawa harapan. Dan bagi Kartijah, itu lebih dari cukup.
reporter: Rhomadan Cerbitakasa










