Penulis : M. Farhan, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Jambi
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah menjadi persoalan kronis yang terus berulang di Provinsi Jambi. Setiap musim kemarau, masyarakat kembali dihadapkan pada kabut asap yang mengganggu kesehatan, aktivitas ekonomi, serta proses belajar mengajar.
Kondisi ini seolah menjadi rutinitas tahunan yang diterima sebagai keniscayaan, padahal dampak yang ditimbulkan sangat serius dan melanggar hak dasar warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Berbagai kebijakan telah dikeluarkan untuk mencegah dan menanggulangi karhutla. Pemerintah pusat dan daerah berulang kali menyatakan komitmen untuk menindak tegas para pelaku pembakaran lahan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa persoalan karhutla tidak semata-mata terletak pada lemahnya regulasi, melainkan pada bagaimana hukum tersebut diterapkan kepada subjek hukum yang berbeda.
Dalam banyak kasus karhutla di Jambi, aparat penegak hukum relatif cepat menetapkan petani kecil atau masyarakat lokal sebagai tersangka. Mereka yang membuka lahan dengan cara tradisional sering kali dijerat dengan pasal pidana dan harus berhadapan dengan proses hukum yang berat. Sebaliknya, perusahaan besar yang wilayah konsesinya terbakar justru kerap hanya dikenai sanksi administratif atau kewajiban pemulihan lingkungan.
Perbedaan perlakuan ini menimbulkan kesan bahwa hukum tidak berjalan secara setara. Padahal, dampak kebakaran lahan skala besar yang terjadi di area konsesi perusahaan jauh lebih luas dan merugikan masyarakat. Ketika penegakan hukum tampak lebih keras terhadap masyarakat kecil dibandingkan korporasi, maka rasa keadilan publik pun dipertanyakan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor perkebunan dan kehutanan memiliki peran penting dalam perekonomian Jambi. Investasi dan lapangan kerja yang dihasilkan menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah daerah. Namun, ketika kepentingan ekonomi lebih dominan daripada perlindungan lingkungan, hukum berisiko kehilangan fungsinya sebagai instrumen keadilan.
Kebijakan yang terlalu lunak terhadap korporasi juga berpotensi melemahkan efek jera. Perusahaan yang tidak merasakan konsekuensi hukum yang tegas cenderung menganggap kebakaran lahan sebagai risiko bisnis yang dapat ditoleransi. Akibatnya, kebakaran terus berulang dan masyarakat kembali menjadi korban utama.
Selain persoalan ketimpangan penegakan hukum, penanganan karhutla di Jambi juga cenderung bersifat reaktif. Penindakan hukum biasanya dilakukan setelah kebakaran terjadi dan dampaknya meluas. Sementara itu, upaya pencegahan melalui pengawasan izin, penataan tata kelola lahan, serta evaluasi konsesi masih belum optimal.
Pendekatan reaktif ini menunjukkan bahwa hukum lebih sering digunakan sebagai respons terhadap krisis, bukan sebagai alat pencegahan yang berkelanjutan. Padahal, pencegahan merupakan kunci utama untuk memutus siklus karhutla yang terus berulang setiap tahun.
Ketimpangan penegakan hukum dalam kasus karhutla juga berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Ketika hukum dipersepsikan tajam ke bawah dan tumpul ke atas, masyarakat menjadi skeptis terhadap klaim negara sebagai pelindung kepentingan publik.
Karhutla di Jambi seharusnya menjadi momentum evaluasi serius terhadap cara negara menegakkan hukum lingkungan. Penindakan yang adil, tegas, dan konsisten terhadap semua pelaku, tanpa memandang skala usaha atau kekuatan ekonomi, merupakan syarat mutlak untuk mengakhiri bencana asap yang terus berulang.
Masyarakat Jambi tidak hanya membutuhkan janji dan pernyataan komitmen, tetapi juga tindakan nyata. Hukum harus benar-benar hadir untuk melindungi lingkungan dan hak warga negara. Jika tidak, karhutla akan terus menjadi simbol kegagalan negara dalam menghadirkan keadilan dan keberlanjutan lingkungan.






