Melawan Logika Pemangkasan: Syukur Pilih Bertahan untuk Ponpes

91 Views

DI setiap masa sulit, bangsa ini selalu diuji: mana yang lebih kuat, logika atau nurani? Pertanyaan itu kini terasa nyata di Kabupaten Merangin. Ketika tekanan fiskal memaksa daerah melakukan efisiensi di hampir semua lini, Bupati M. Syukur justru memilih berdiri di tempat yang berbeda. Ia melawan arus.

Bagi Syukur, badai krisis bukan alasan untuk menutup pintu keberkahan. Di tengah dorongan pemangkasan anggaran dan berkurangnya dana transfer dari pemerintah pusat, ia menegaskan satu hal: Pondok Pesantren (Ponpes) tak boleh jadi korban.

“Kalau kita katakan Merangin sedang susah, itu bisa jadi doa. Saya tegaskan, Merangin baik-baik saja. Dan program bantuan Ponpes akan terus berjalan,”M. Syukur, Bupati Merangin

Ucapan itu bukan sekadar retorika politik. Di balik kalimat yang terdengar sederhana itu, tersimpan keberanian moral yang jarang muncul dari seorang pejabat publik. Syukur tidak sekadar berbicara tentang angka, tapi tentang iman, tanggung jawab, dan amanah.

Krisis yang Menguji Kepemimpinan

MERANGIN telah menghadapi tiga fase berat berturut-turut, yakni pandemi Covid-19 yang melumpuhkan aktivitas ekonomi, masa transisi pemerintahan yang menuntut adaptasi, dan kini fase ketiga berkurangnya dana transfer dari pemerintah pusat yang menekan APBD.

Secara rasional, banyak daerah memilih jalan efisiensi: memangkas belanja sosial, menunda bantuan pendidikan, dan mengurangi program hibah keagamaan. Tapi Syukur tidak ikut-ikutan. Ia tahu, langkah mudah bukan selalu langkah benar.

“Kita harus tetap punya semangat melayani, bukan menyerah pada keadaan. Bersama, kita bisa melewati semua fase ini,” ujarnya di hadapan para kiai dan pimpinan Ponpes yang hadir di Auditorium Rumah Dinas Bupati.

Kata “bersama” menjadi kunci. Di tengah krisis, Syukur justru memperkuat kebersamaan antara pemerintah dan lembaga keagamaan. Ia percaya, jika Ponpes kuat, moral masyarakat akan terjaga. Dan jika moral terjaga, Merangin akan tetap berdiri dengan kepala tegak.

Melawan Logika Pemangkasan

DALAM ilmu ekonomi publik, efisiensi sering dipuja sebagai indikator keberhasilan manajemen keuangan. Tapi di tangan para birokrat yang terlalu teknokratis, efisiensi bisa berubah menjadi “pisau dingin” yang memotong urat nadi sosial. Program keagamaan, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat kecil sering dianggap “tidak mendesak”.

Di sinilah perbedaan Syukur terlihat. Ia melawan logika pemangkasan yang hanya melihat angka, bukan makna.

“Ponpes adalah benteng moral daerah. Jangan pernah biarkan benteng itu runtuh hanya karena kita takut defisit,” katanya suatu kali dalam rapat internal bersama jajaran OPD.

Bagi Syukur, Ponpes bukan pos anggaran, melainkan investasi peradaban. Dari pesantren lahir para pengajar, ulama, dan pemimpin masa depan. Mereka yang menjaga jati diri daerah tetap berakar pada nilai-nilai Islam dan kebangsaan.

Keputusan untuk mempertahankan bantuan Ponpes di tengah keterbatasan fiskal adalah pilihan ideologis. Ia tidak hanya memikirkan keberlanjutan program, tapi juga arah moral pemerintahan yang ingin diwariskan: pemerintahan yang berpihak pada iman dan akhlak.

Dari Santri Lahir Cahaya

DI berbagai pelosok Merangin, pondok pesantren tumbuh bukan karena kemewahan fasilitas, melainkan karena keikhlasan. Para kiai mengajar tanpa pamrih, santri belajar dengan kesederhanaan, dan masyarakat menyalakan harapan dari doa-doa di tengah malam.

Bupati Syukur memahami hal itu. Maka, ketika banyak daerah mulai memangkas bantuan, ia justru memperkuat komunikasi dengan para pimpinan Ponpes. Ia tahu bahwa keberkahan pemerintahan tidak hanya datang dari kebijakan yang tepat, tapi juga dari doa yang terus mengalir.

Salah satu pimpinan Ponpes di Kecamatan Tabir mengatakan, bantuan Pemkab Merangin sangat berarti bagi keberlangsungan pendidikan di pesantrennya.

“Bantuan itu mungkin kecil nilainya secara materi, tapi besar secara spiritual. Karena itu menunjukkan bahwa pemerintah masih peduli,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Kepedulian seperti itulah yang membuat hubungan antara pemerintah dan Ponpes tidak bersifat transaksional, melainkan emosional dan moral.

Birokrasi yang Berzikir

LANGKAH Syukur mempertahankan program bantuan Ponpes bukan sekadar kebijakan fiskal, tapi juga cara baru memaknai birokrasi. Di tangannya, pemerintahan bukan hanya urusan laporan dan serapan anggaran, tetapi juga ladang ibadah.

Ia ingin menjadikan birokrasi Merangin sebagai birokrasi yang berzikir, selalu mengingat Tuhan dalam setiap keputusan, dan tidak kehilangan rasa dalam hitungan angka.

Kebijakan ini memang tidak spektakuler di mata politik praktis. Ia tidak menciptakan headline yang bombastis atau proyek fisik yang menjulang. Namun di tengah keletihan moral bangsa, keputusan seperti ini justru menjadi oase spiritual dalam pemerintahan.

Sinergi Iman dan Pembangunan

MENARIKNYA, komitmen Syukur untuk Ponpes tidak membuat sektor lain diabaikan. Pemkab Merangin tetap menjalankan berbagai program pro-rakyat:

  • 10.000 Jamkesda bagi masyarakat kurang mampu,
  • Program beasiswa dan bantuan alat sekolah,
  • Perbaikan jalan vital seperti Durian Rambun dan Sungai Pinang–Ngaol,
  • Serta bantuan bibit sawit, ikan, dan sayuran bagi petani.

Artinya, keberpihakan pada dunia pesantren tidak mengurangi keberpihakan pada sektor ekonomi rakyat. Justru sebaliknya, keduanya saling melengkapi. Syukur memahami bahwa pembangunan fisik tanpa pembangunan moral akan rapuh, dan pembangunan moral tanpa dukungan ekonomi akan lumpuh.

Itulah keseimbangan yang ia jaga: antara iman dan kerja nyata.

Suara Dukungan dari Ulama

KETEGUHAN Syukur tidak berdiri sendiri. Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten Merangin, Arfandi Ibnu Hajar, memberikan apresiasi tinggi terhadap langkah tersebut.

“Kami melihat komitmen Pak Bupati ini sebagai bentuk nyata keberpihakan pada pendidikan Islam. Dalam kondisi sulit, beliau tidak memotong bantuan Ponpes. Itu langkah yang sangat kami hargai,” ujar Arfandi, yang juga mantan Sekda Merangin.

Pernyataan ini mempertegas bahwa kebijakan Syukur tidak hanya berdampak administratif, tetapi juga membangun kepercayaan sosial.

Ketika ulama merasa dihargai, kepercayaan umat pada pemerintah pun menguat. Dan dalam situasi krisis seperti sekarang, kepercayaan adalah aset yang jauh lebih berharga dari sekadar angka pendapatan daerah.

Politik Keberkahan

KEBIJAKAN mempertahankan bantuan Ponpes di tengah keterbatasan bisa disebut sebagai politik keberkahan.

Ini bukan politik transaksional atau pencitraan, melainkan politik yang berpijak pada nilai: bahwa setiap rupiah yang dialokasikan untuk pendidikan agama akan kembali dalam bentuk stabilitas sosial, akhlak masyarakat, dan ketenangan batin kolektif.

Syukur memahami satu prinsip sederhana namun dalam: “Pemerintah yang mengabaikan pesantren, sedang menyiapkan krisis moral bagi generasinya sendiri.”

Karena itu, setiap kali berbicara tentang pembangunan, ia selalu menekankan dua kata yang seolah menjadi semboyannya: ikhlas dan kebersamaan.

Dua kata itu bukan jargon, tapi fondasi kepemimpinan yang menempatkan hati sebagai kompas.

Merangin yang Tidak Menyerah

APA yang dilakukan Syukur sesungguhnya lebih dari sekadar mempertahankan bantuan. Ia sedang membangun optimisme kolektif. Ketika pemimpin berbicara dengan keyakinan bahwa daerahnya baik-baik saja, energi positif itu menular ke bawah. Para ASN, masyarakat, bahkan para kiai dan santri pun ikut percaya bahwa badai ini bisa dilewati bersama.

Optimisme seperti inilah yang kini menjadi kekuatan baru Merangin. Di tengah keterbatasan, ada semangat yang tidak ikut berkurang. Dan semangat itu bersumber dari keyakinan bahwa pemerintahan yang tulus akan selalu diberi jalan.

Melawan Arus dengan Hati

DALAM dunia birokrasi modern, keputusan Syukur mungkin dianggap “tidak efisien.”

Tapi sejarah tidak menulis tentang mereka yang efisien, sejarah menulis tentang mereka yang berani.

Bupati M. Syukur memilih untuk melawan logika pemangkasan, bukan karena ia menolak realitas, tapi karena ia percaya pada nilai yang lebih tinggi dari angka.

Ia percaya bahwa menjaga pesantren berarti menjaga ruh bangsa. Dan bahwa sebuah daerah tidak akan jatuh selama doa santri masih naik ke langit setiap malam.

Krisis boleh datang, dana boleh menipis, tapi komitmen untuk santri tak boleh padam. Syukur tahu, di setiap kesulitan ada keberkahan yang tersembunyi, asalkan kita tidak berhenti berbuat baik.

Itulah kepemimpinan sejati: bukan yang paling kaya anggaran, tapi yang paling ikhlas bertahan ketika yang lain memilih menyerah.

Dan di Merangin, kepemimpinan seperti itu punya satu nama, ia adalah M. Syukur.

Oleh: Rhomadan Cerbitakasa, SKM
wartawan muda Merangin