Menakar Kesaktian SIPD: Akankah Digitalisasi Menghapus ‘Pasal-Pasal Siluman’ di Daerah?

20 Views

Penulis : Bella ArliyantiN, IM : P2B125095, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi

Dalam konstelasi politik anggaran di Indonesia, “pasal siluman” adalah produk dari negosiasi gelap di luar mekanisme formal. Politik hukum pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri kemudian meluncurkan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) sebagai antitesis terhadap praktik tersebut. Namun, apakah digitalisasi ini benar-benar “sakti” secara hukum?.

Secara politik hukum, pergeseran dari pengelolaan keuangan manual ke SIPD merupakan upaya negara untuk membatasi diskresi berlebih pejabat daerah. Sejak keran otonomi daerah dibuka, pengelolaan keuangan daerah menjadi arena yang paling rawan terhadap praktik maladminstrasi. Salah satu patologi birokrasi yang paling persisten adalah munculnya “pasal siluman”—proyek-proyek tanpa dasar perencanaan yang tiba-tiba muncul di dokumen anggaran final. Sebagai respons, Pemerintah Pusat melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 70 Tahun 2019 meluncurkan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD). Secara politik hukum, ini bukan sekadar pergantian aplikasi, melainkan upaya radikal mengubah budaya hukum dari manual-transaksional menuju digital-akuntabel.

Sebelum SIPD, tiap daerah punya nama program berbeda-beda yang sering kali membingungkan dan menjadi celah penyisipan anggaran. SIPD memaksa daerah menggunakan satu bahasa kode akun yang sama secara nasional. Secara hukum, “pasal siluman” muncul karena adanya keterputusan antara apa yang direncanakan (RKPD) dengan apa yang dianggarkan (APBD). Disebut “siluman” karena ia tidak memiliki riwayat proses yang jelas dan tidak ada di usulan awal, tidak dibahas dalam rapat komisi, namun secara ajaib “menampakkan diri” saat dokumen anggaran akan disahkan atau bahkan setelah disahkan.

SIPD mengunci sistem sehingga anggaran tidak bisa diinput jika tidak ada jejak perencanaannya. Sistem ini membawa tiga “kesaktian” utama yang secara teoretis mampu menghapus pasal siluman: Pertama, Jejak Digital Audit (Digital Audit Trail) yaitu setiap perubahan data, mulai dari penambahan satu rupiah hingga penghapusan satu program, terekam secara otomatis. Siapa (akun mana), kapan, dan melalui perangkat apa perubahan itu dilakukan dapat dilacak. Ini menghilangkan anonimitas yang selama ini menjadi perlindungan bagi pelaku penyisipan anggaran. Kedua, Penguncian Jadwal (System Locking) yaitu salah satu pintu masuk pasal siluman adalah pembahasan yang molor hingga larut malam di luar jadwal resmi. SIPD bekerja dengan sistem timer. Jika waktu input yang ditetapkan regulasi sudah habis, sistem akan terkunci secara otomatis. Tidak ada lagi celah “input susulan” di luar sidang paripurna. Ketiga, Standardisasi Harga Satuan yaitu SIPD mewajibkan input Standar Satuan Harga (SSH) di awal. Hal ini mencegah praktik “mark-up” yang biasanya menjadi modus untuk membiayai proyek-proyek titipan atau “pasal siluman”.

Dalam sistem manual (menggunakan Excel atau Word), pasal siluman sangat mudah disisipkan karena tidak ada jejak siapa yang mengubah data. Dalam SIPD, setiap perubahan data membutuhkan login akun tertentu. Jika ada anggaran muncul tiba-tiba, sistem akan mencatat siapa yang memasukkannya dan kapan waktunya. Ini membuat “siluman” tersebut tidak bisa lagi bersembunyi. SIPD adalah instrumen politik hukum yang sangat progresif. Ia berhasil menghapus praktik “ketok palu” yang diiringi penyisipan dokumen fisik secara ilegal. Namun, digitalisasi hanyalah alat. “Kesaktian” SIPD dalam menghapus pasal siluman akan mencapai puncaknya jika diikuti dengan transparansi radikal, di mana masyarakat bisa mengakses data SIPD secara real-time. Tanpa itu, SIPD hanya akan memindahkan “ruang gelap” dari laci meja birokrat ke dalam barisan kode komputer yang sulit diawasi.

Secara hukum, anggaran harus disusun berdasarkan asas openness. Isu utamanya adalah penggelapan proses. Masyarakat dan pihak pengawas (seperti Inspektorat Daerah atau Badan Keuangan Daerah) sering kali baru mengetahui adanya anggaran tersebut saat uang sudah dicairkan. Ini menciptakan jurang antara “apa yang dijanjikan pemerintah” dengan “apa yang sebenarnya dibiayai”. Selain itu, Pejabat di Badan Keuangan Daerah atau pemegang akun sistem memiliki diskresi teknis untuk melakukan input data. Isu hukumnya muncul ketika wewenang jabatan digunakan untuk memenuhi tekanan politik (misalnya pesanan dari oknum legislatif atau kepala daerah) guna memasukkan program yang tidak ada dasar perencanaannya. Dalam hukum administrasi, ini disebut sebagai detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang). Kemudian, kemandirian pengawas. Sering kali, APIP (Inspektorat) berada di bawah tekanan kepala daerah yang sama dengan Badan Keuangan Daerah , sehingga fungsi kontrol hukumnya tumpul. SIPD memang mencatat data, tetapi jika tidak ada yang berani memeriksa “siapa di balik akun tersebut”, maka sistem hanya menjadi pajangan.

Kehadiran UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) semakin memperkuat kedudukan SIPD. UU ini menekankan pentingnya sinergi fiskal nasional. Politik hukum UU HKPD memposisikan SIPD bukan hanya sebagai alat pencatatan, tetapi sebagai instrumen Pengawasan Represif. Jika daerah tidak menggunakan sistem yang terintegrasi, pemerintah pusat memiliki dasar hukum untuk menunda penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU). SIPD adalah langkah maju yang luar biasa dalam menghapus “pasal siluman” secara administratif. Namun, digitalisasi hanyalah alat. Kesaktian SIPD akan benar-benar terasa jika: Pertama, Transparansi Publik yaitu masyarakat diberikan akses (dashboard) untuk memantau apa yang sedang diinput oleh Badan Keuangan Daerah secara real-time. Kedua, Perlindungan Whistleblower yaitu memberikan jaminan keamanan bagi administrator sistem di daerah jika mereka menolak perintah ilegal untuk memanipulasi data. Digitalisasi mungkin bisa menghapus pasal siluman dari dokumen, tetapi hanya integritas dan pengawasan publik yang bisa menghapusnya dari mentalitas birokrasi.

Tinggalkan Balasan