Modernisasi Penyelenggaraan Pemilu Indonesia: Dari Sistem Manual ke Era Digital dalam Perspektif Sosiologi

56 Views

Penulis : Syobirin, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Jambi

Pemilihan umum merupakan institusi demokrasi yang tidak pernah sepenuhnya selesai. Ia terus berubah mengikuti dinamika sosial, perkembangan teknologi, serta tuntutan legitimasi politik. Di Indonesia, perjalanan pemilu sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 menunjukkan bahwa demokrasi elektoral bukanlah sistem yang statis, melainkan proses sosial yang terus belajar dari pengalaman historisnya sendiri.

Tulisan ini disusun sebagai refleksi akademik atas perjalanan panjang penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dengan bertumpu pada pembacaan literatur sosiologi politik dan dinamika penyelenggaraan pemilu mutakhir. Alih-alih melihat pemilu semata sebagai prosedur teknis, tulisan ini menempatkannya sebagai proses sosial yang mencerminkan relasi antara negara, warga negara, dan perubahan struktur masyarakat.

Dalam perspektif sosiologi politik, pemilu tidak dapat dipahami hanya sebagai mekanisme administratif untuk memilih pemimpin. Pemilu merupakan arena interaksi sosial yang mempertemukan kepentingan negara, partai politik, penyelenggara pemilu, dan warga negara. Oleh karena itu, modernisasi penyelenggaraan pemilu harus dibaca sebagai bagian dari perubahan sosial yang lebih luas, bukan sekadar inovasi teknis.

Pemilu 1955 menempati posisi penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Diselenggarakan dalam kondisi negara yang baru merdeka, keterbatasan infrastruktur, serta tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah, pemilu ini tetap mampu melibatkan partisipasi rakyat secara luas. Seluruh tahapan pemilu dilakukan secara manual, mulai dari pendaftaran pemilih hingga penghitungan suara yang memakan waktu panjang.

Miriam Budiardjo menegaskan bahwa pemilu berfungsi sebagai sarana pendidikan politik rakyat, terutama dalam masyarakat yang baru mengenal demokrasi (Budiardjo, 2008). Dalam konteks Indonesia pascakolonial, pemilu bukan hanya menghasilkan wakil rakyat, tetapi juga membentuk kesadaran warga negara mengenai hak pilih, kompetisi politik, dan legitimasi kekuasaan. Pemilu menjadi ruang belajar demokrasi bagi masyarakat yang sebelumnya hidup di bawah sistem kolonial.

Namun, secara sosiologis, perilaku memilih pada masa awal tersebut masih sangat dipengaruhi oleh struktur sosial tradisional. Ikatan agama, aliran, dan identitas kultural menjadi faktor dominan dalam menentukan pilihan politik. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi elektoral hadir dalam konteks sosial tertentu, bukan dalam ruang yang sepenuhnya rasional dan netral.

Pada masa Orde Baru, pemilu tetap diselenggarakan secara rutin, tetapi dalam kerangka demokrasi yang terbatas. Penyelenggaraan pemilu bersifat sentralistik, dikontrol ketat oleh negara, dan sepenuhnya dijalankan secara manual. Pemilu pada periode ini lebih berfungsi sebagai instrumen legitimasi kekuasaan dibandingkan sebagai sarana kompetisi politik yang bebas dan adil.

Selo Soemardjan melihat stabilitas politik Orde Baru sebagai hasil dari pengendalian institusional dalam proses perubahan sosial (Soemardjan, 1981). Dalam perspektif sosiologi kritis, pemilu pada masa ini hadir secara prosedural, tetapi kehilangan makna substantifnya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Meski demikian, periode Orde Baru juga membentuk kapasitas administratif negara dalam penyelenggaraan pemilu. Sistem logistik, pendataan pemilih, dan birokrasi kepemiluan dikembangkan secara sistematis. Ironisnya, modernisasi administratif ini justru menjadi modal penting bagi pembaruan pemilu di era reformasi. Hal ini menunjukkan bahwa modernisasi teknokratis tidak selalu berjalan seiring dengan demokratisasi politik, tetapi dapat menjadi prasyaratnya.

Reformasi 1998 menjadi titik balik penting dalam penyelenggaraan pemilu Indonesia. Pemilu 1999 membuka era kompetisi politik yang relatif bebas dan adil. Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen menandai perubahan mendasar dalam tata kelola pemilu dan memperkuat legitimasi demokrasi elektoral.

Ramlan Surbakti menekankan bahwa kualitas pemilu sangat ditentukan oleh desain kelembagaan dan sistem kepemiluan yang digunakan (Surbakti, 2010). Reformasi kepemiluan pasca-1998 menunjukkan upaya sistematis untuk memperbaiki regulasi, memperkuat pengawasan, serta meningkatkan integritas penyelenggara. Pemilu tidak lagi menjadi monopoli negara, melainkan arena interaksi antara negara, masyarakat sipil, dan media.

Pada fase ini, teknologi mulai diperkenalkan secara terbatas dalam penyelenggaraan pemilu, terutama untuk pengolahan data dan administrasi. Komputer digunakan untuk menggantikan sebagian pencatatan manual, meskipun belum terintegrasi secara nasional. Secara sosiologis, fase ini mencerminkan pergeseran dari birokrasi tertutup menuju tata kelola pemilu yang lebih transparan dan partisipatif.

Memasuki abad ke-21, penyelenggaraan pemilu Indonesia berada dalam arus globalisasi demokrasi. Standar internasional mengenai pemilu yang transparan, akuntabel, dan berintegritas menjadi rujukan penting. Pemilu Indonesia tidak lagi hanya dinilai oleh publik domestik, tetapi juga oleh komunitas internasional.

Titi Anggraini menegaskan bahwa integritas pemilu merupakan prasyarat penting bagi konsolidasi demokrasi, terutama di negara-negara demokrasi baru (Anggraini, 2019). Globalisasi informasi juga mengubah karakter pemilih. Akses luas terhadap internet dan media digital membuat masyarakat lebih kritis terhadap proses demokrasi, tetapi sekaligus lebih rentan terhadap disinformasi. Dalam konteks ini, modernisasi penyelenggaraan pemilu menjadi kebutuhan struktural untuk menjawab kompleksitas sosial dan politik yang semakin tinggi.

Transformasi digital penyelenggaraan pemilu Indonesia mencapai tahap paling signifikan pada Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Teknologi digunakan hampir di seluruh tahapan pemilu, meskipun tetap diposisikan sebagai alat bantu, bukan pengganti mekanisme hukum pemilu berbasis manual.

Digitalisasi data pemilih menjadi salah satu perubahan paling mendasar. Daftar Pemilih Tetap (DPT) dikelola melalui sistem digital yang terintegrasi dengan data kependudukan nasional. Pemilih dapat mengecek status kepemilihannya dan lokasi TPS secara daring. Dari perspektif sosiologi administrasi, perubahan ini menggeser posisi warga negara dari objek pendataan menjadi subjek yang memiliki akses terhadap data politiknya sendiri.

Dalam proses rekapitulasi suara, Pemilu 2024 menandai peralihan dari Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) yang digunakan sejak 2019 menuju Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Sirekap memungkinkan pengunggahan hasil penghitungan suara dari TPS disertai pemindaian dokumen. Meskipun hasil resmi tetap ditetapkan melalui rekapitulasi manual berjenjang, sistem ini berfungsi sebagai instrumen transparansi dan pengawasan publik.

Digitalisasi juga mencakup manajemen logistik pemilu. Dalam pemilu serentak berskala besar, teknologi menjadi kebutuhan organisasi untuk mengelola kompleksitas tahapan pemilu, bukan sekadar inovasi tambahan.

Modernisasi penyelenggaraan pemilu tidak hanya menyangkut KPU sebagai pelaksana teknis, tetapi juga Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai pengawas proses demokrasi. Dalam perspektif sosiologi kelembagaan, relasi KPU dan Bawaslu mencerminkan mekanisme checks and balances dalam demokrasi elektoral.

Pada Pemilu dan Pilkada 2024, pengawasan tidak lagi hanya berbasis kehadiran fisik, tetapi juga mencakup pengawasan terhadap sistem digital, data rekapitulasi, serta aktivitas politik di ruang daring. Bawaslu memanfaatkan teknologi untuk menerima laporan masyarakat, memantau kampanye digital, dan mengawasi kesesuaian data Sirekap dengan dokumen fisik hasil penghitungan suara.

Dalam kerangka sosiologi hukum, digitalisasi pemilu memperluas spektrum potensi pelanggaran, termasuk disinformasi digital dan penyalahgunaan data pribadi. Oleh karena itu, keberhasilan modernisasi pemilu sangat bergantung pada sinergi kelembagaan antara KPU dan Bawaslu serta kepercayaan publik terhadap kedua institusi tersebut.

Pemilu 2024 juga memperlihatkan peran besar media sosial dalam membentuk ruang publik politik. Kampanye, mobilisasi dukungan, dan polarisasi berlangsung di ruang digital. Burhanuddin Muhtadi menunjukkan bahwa media digital memperkuat emosi politik dan fragmentasi pemilih dalam pemilu pascareformasi (Muhtadi, 2019).

Bagi penyelenggara pemilu, tantangan ini tidak semata-mata bersifat teknis. Pemilu modern menuntut pengelolaan kepercayaan publik dalam ruang digital yang cair, cepat, dan sulit dikendalikan. Di sinilah kualitas demokrasi diuji, bukan hanya oleh sistem, tetapi juga oleh budaya politik digital masyarakat.

Ke depan, modernisasi pemilu akan semakin bersentuhan dengan perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). AI berpotensi digunakan untuk deteksi anomali hasil suara, pemantauan disinformasi, dan peningkatan efisiensi manajemen pemilu. Namun, AI juga membawa risiko serius terkait bias algoritma, pelanggaran privasi, dan manipulasi politik.

Soerjono Soekanto mengingatkan bahwa perubahan teknologi yang tidak diiringi penyesuaian nilai dan norma berpotensi menimbulkan disorganisasi sosial (Soekanto, 2012). Oleh karena itu, pemanfaatan AI dalam pemilu harus diletakkan dalam kerangka etika, regulasi, dan pengawasan yang kuat, di mana peran Bawaslu akan semakin strategis.

Pemilu masa depan bukan semata tentang seberapa canggih teknologi yang digunakan, melainkan tentang bagaimana teknologi tersebut memperkuat kedaulatan rakyat. Modernisasi penyelenggaraan pemilu Indonesia, jika dikelola secara reflektif, inklusif, dan akuntabel, dapat menjadi jalan menuju demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga bermakna secara sosial.

Tinggalkan Balasan