Politik Hukum Pemilu Pasca Putusan MK: Menata Demokrasi Menuju 2029 dan 2031

17 Views

Penulis : Syobirin, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Jambi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 menandai perubahan penting dalam arah politik hukum pemilu di Indonesia. Melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa desain pemilu serentak total yang selama ini diterapkan tidak lagi sejalan dengan prinsip demokrasi yang rasional dan berkeadilan. Mahkamah kemudian mengarahkan pemisahan antara Pemilu nasional yang akan dilaksanakan pada tahun 2029 dan Pemilu lokal, termasuk pemilihan kepala daerah, pada tahun 2031. Putusan ini bukan sekadar mengatur ulang jadwal pemilu, melainkan mengoreksi cara negara memahami dan menjalankan demokrasi elektoral.

Pemilihan umum pada hakikatnya merupakan sarana utama perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam negara demokrasi, Pemilu tidak boleh direduksi menjadi rutinitas administratif lima tahunan, tetapi harus dipahami sebagai mekanisme konstitusional untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan atas dasar kehendak rakyat. Ketika desain Pemilu justru mengaburkan pilihan politik rakyat, maka tujuan demokrasi patut dipertanyakan.

Pengalaman Pemilu dan Pilkada serentak 2024 memperlihatkan berbagai persoalan mendasar. Pemilih dihadapkan pada terlalu banyak surat suara dan pilihan politik dalam satu waktu. Isu-isu nasional dan lokal bercampur tanpa batas yang jelas, sehingga perhatian pemilih terpecah. Di sisi lain, penyelenggara Pemilu menghadapi beban teknis yang sangat berat. Dalam situasi seperti ini, Pemilu berisiko kehilangan makna substantif dan berubah menjadi sekadar prosedur formal yang kompleks.

Putusan Mahkamah Konstitusi hadir sebagai koreksi atas kondisi tersebut. Mahkamah menilai bahwa pemilu serentak total tidak otomatis memperkuat demokrasi. Justru sebaliknya, desain tersebut dapat melemahkan rasionalitas pemilih dan mengurangi kualitas kedaulatan rakyat. Dengan memisahkan Pemilu nasional dan Pemilu lokal, Mahkamah berupaya menata ulang demokrasi agar lebih fokus, terukur, dan relevan dengan kebutuhan politik warga negara.

Dalam perspektif politik hukum, langkah Mahkamah Konstitusi ini menunjukkan perubahan arah kebijakan dasar negara. Mahfud MD dalam Politik Hukum di Indonesia menjelaskan bahwa politik hukum merupakan kebijakan resmi negara mengenai hukum apa yang dipilih dan diterapkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini, pemisahan Pemilu 2029 dan Pilkada 2031 merupakan pilihan politik hukum untuk memperbaiki kualitas demokrasi elektoral, bukan sekadar penyesuaian teknis penyelenggaraan.

Pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu lokal secara normatif memang menawarkan harapan baru. Isu-isu nasional tidak lagi menenggelamkan persoalan daerah, dan demokrasi lokal tidak lagi menjadi pelengkap dari kontestasi politik nasional. Pemilih memiliki ruang yang lebih rasional untuk menilai calon presiden, anggota parlemen, maupun kepala daerah berdasarkan kapasitas, program, dan kepentingan yang relevan dengan tingkat pemerintahan yang dipilih.

Namun demikian, pemisahan Pemilu dan Pilkada juga membawa konsekuensi serius yang tidak boleh diabaikan. Salah satu persoalan paling krusial adalah legitimasi kekuasaan daerah selama masa transisi. Penjadwalan Pilkada pada tahun 2031 berimplikasi pada adanya jeda waktu yang cukup panjang antara berakhirnya masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2024 dan pelaksanaan Pilkada berikutnya. Dalam jeda tersebut, pengisian jabatan melalui penjabat kepala daerah berpotensi berlangsung dalam waktu yang lama.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang legitimasi demokrasi di tingkat lokal. Kekuasaan daerah yang dijalankan tanpa mandat elektoral langsung berpotensi menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan politik. Jika tidak diatur secara ketat dan transparan, masa transisi ini justru dapat melahirkan praktik kekuasaan yang minim akuntabilitas.

Dalam kerangka demokrasi konstitusional, legitimasi kekuasaan merupakan prinsip yang tidak dapat ditawar. Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa demokrasi hanya bermakna jika kekuasaan dibatasi oleh hukum dan memperoleh legitimasi dari rakyat. Oleh karena itu, politik hukum pemilu pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh berhenti pada pemisahan jadwal, tetapi harus memastikan bahwa masa transisi pemerintahan daerah tetap konstitusional, terbatas, dan akuntabel.

Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah kesiapan negara dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi ke dalam regulasi yang jelas dan konsisten. Tanpa peraturan perundang-undangan yang tegas, pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu lokal justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Politik hukum pemilu tidak boleh kembali terjebak pada kompromi politik jangka pendek yang mengorbankan prinsip demokrasi dan kepastian hukum.

Selain itu, kesiapan kelembagaan penyelenggara Pemilu juga menjadi faktor penentu. Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu harus menyesuaikan perencanaan tahapan, anggaran, dan sumber daya manusia dengan siklus Pemilu yang terpisah. Tanpa kesiapan yang matang, pemisahan Pemilu justru dapat menimbulkan inefisiensi dan konflik hukum baru yang berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap demokrasi.

Tantangan demokrasi menuju Pemilu 2029 dan Pilkada 2031 juga semakin kompleks dengan perkembangan teknologi informasi. Kampanye politik di ruang digital, penyebaran disinformasi, dan manipulasi opini publik tetap menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi. Pemisahan Pemilu tidak akan membawa dampak berarti jika negara gagal menjamin integritas proses demokrasi di ruang digital.

Lebih jauh, politik hukum pemilu ke depan harus mampu menjawab pertanyaan mendasar tentang tujuan demokrasi itu sendiri. Apakah Pemilu hanya dimaknai sebagai mekanisme memilih pemimpin, atau sebagai sarana pendidikan politik dan partisipasi rakyat? Tanpa upaya serius untuk meningkatkan literasi politik dan kepercayaan publik, perubahan desain Pemilu berisiko hanya menjadi perubahan prosedural tanpa dampak substantif.

Generasi muda sebagai pemilih dominan pada Pemilu 2029 dan Pilkada 2031 memegang peran strategis dalam konteks ini. Tingkat literasi politik dan literasi digital generasi muda akan sangat menentukan apakah desain baru kepemiluan ini mampu melahirkan demokrasi yang lebih berkualitas. Negara tidak boleh menyerahkan tanggung jawab ini sepenuhnya kepada masyarakat, tetapi harus hadir melalui kebijakan pendidikan politik yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 membuka peluang besar untuk memperbaiki demokrasi elektoral Indonesia. Namun peluang tersebut hanya akan bermakna jika diikuti dengan politik hukum yang konsisten, berani, dan berpihak pada kedaulatan rakyat. Pemisahan Pemilu nasional 2029 dan Pilkada 2031 tidak boleh diperlakukan sebagai solusi instan yang menutup persoalan, melainkan sebagai awal dari pembenahan demokrasi yang lebih mendasar.

Jika negara mampu menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi ini sebagai pijakan serius dalam menata demokrasi, Pemilu 2029 dan Pilkada 2031 dapat menjadi momentum penguatan demokrasi Indonesia. Sebaliknya, jika pemisahan tersebut dikelola secara pragmatis dan politis semata, demokrasi Indonesia berisiko hanya berganti bentuk, tetapi kehilangan makna substantifnya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Tinggalkan Balasan