Penulis : Nurromalia, Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi
Dalam negara hukum, sertipikat tanah semestinya menjadi simbol paling konkret dari kepastian dan perlindungan hukum. Negara menerbitkannya, warga mempercayainya, dan hukum seharusnya melindunginya. Namun dalam praktik, sertipikat tanah di Indonesia justru kerap kehilangan daya lindungnya. Ia digugat, dipersoalkan, bahkan dibatalkan. Ketika ini terjadi berulang, persoalannya bukan lagi teknis pertanahan, melainkan soal kejujuran negara dalam menjalankan prinsip negara hukum.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menegaskan bahwa pendaftaran tanah bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Sertipikat ditempatkan sebagai alat bukti yang kuat. Akan tetapi, frasa “kuat” itu dalam praktik sering kali diperlakukan sebagai relatif. Sertipikat tidak pernah benar-benar final. Ia selalu terbuka untuk dikalahkan oleh klaim lain, baik atas nama sejarah, prosedur administratif, maupun kepentingan pembangunan.
Akibatnya, pemegang hak atas tanah bersertipikat termasuk mereka yang memperoleh haknya secara sah dan beritikad baik—tetap hidup dalam ketidakpastian. Sertipikat yang dimiliki bertahun-tahun bisa sewaktu-waktu gugur karena kesalahan administrasi yang dilakukan negara sendiri di masa lalu. Ironisnya, risiko kesalahan tersebut tidak ditanggung negara, melainkan sepenuhnya dibebankan kepada warga negara. Di sinilah letak ketimpangan politik hukum pertanahan kita.
Dalam perspektif politik hukum, situasi ini mencerminkan adanya standar ganda. Ketika negara menerbitkan sertipikat, negara meminta kepercayaan publik. Namun ketika sertipikat itu dipersoalkan, negara justru berlindung di balik dalih normatif bahwa sertipikat “bukan bukti mutlak”. Sikap ini menunjukkan negara ingin memiliki kewenangan luas atas tanah, tetapi enggan memikul konsekuensi hukum dari kewenangan tersebut. Negara hadir ketika memberi hak, tetapi menghilang ketika hak itu dipersoalkan.
Masalah ini semakin nyata dalam konteks pembangunan dan investasi. Atas nama kepentingan umum dan proyek strategis nasional, hukum pertanahan kerap dilenturkan. Kepastian hukum bagi pemegang sertipikat diperlakukan sebagai hambatan administratif, bukan sebagai hak konstitusional. Padahal, pembangunan dalam negara hukum tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepastian hukum. Jika hukum selalu bisa dikalahkan oleh kepentingan pragmatis, maka yang tumbuh bukan pembangunan berkeadilan, melainkan konflik agraria yang berlapis-lapis.
Putusan pengadilan dalam sengketa pertanahan juga memperlihatkan wajah inkonsistensi. Ada putusan yang melindungi pemegang sertipikat beritikad baik, tetapi tidak sedikit pula yang membatalkannya tanpa mempertimbangkan lamanya sertipikat terbit dan posisi warga sebagai pihak yang tidak bersalah. Lebih problematis lagi, hampir tidak pernah ada pertanggungjawaban serius terhadap aparatur negara yang melakukan kesalahan administrasi pertanahan. Negara menang, warga kalah, dan keadilan tereduksi menjadi prosedur.
Prof. Badher Johan Nasution dalam bukunya Hukum Agraria (Tanah) dan Sengketa Pertanahan (2017) mengingatkan bahwa negara tidak boleh melepaskan tanggung jawab setelah menerbitkan sertipikat hak atas tanah. Menurutnya, jika risiko kesalahan administrasi dibebankan kepada warga negara, maka sertipikat kehilangan makna sebagai jaminan kepastian hukum. Pernyataan ini seharusnya menjadi refleksi serius bagi pembentuk kebijakan dan penegak hukum.
Secara konstitusional, persoalan ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil dan Pasal 28H tentang perlindungan hak milik. Kepastian hukum bukan slogan politik, melainkan kewajiban konstitusional negara. Jika sertipikat tanah yang diterbitkan negara saja tidak memberi rasa aman, maka kepercayaan publik terhadap hukum akan terus tergerus.
Karena itu, politik hukum pertanahan harus dikoreksi secara tegas. Sertipikat tanah harus benar-benar diperlakukan sebagai jaminan hukum, terutama bagi pemegang hak beritikad baik. Negara harus bertanggung jawab atas setiap kesalahan administrasi pertanahan, termasuk melalui mekanisme ganti rugi yang adil. Kepentingan pembangunan pun tidak boleh dijadikan alasan untuk menegasikan hak konstitusional warga negara.
Pertanyaan mendasarnya sederhana, apakah hukum pertanahan hadir untuk melindungi rakyat, atau sekadar untuk memudahkan penguasaan tanah? Dalam negara hukum, jawabannya seharusnya tidak perlu diperdebatkan.






