Penulis : Muhammad Zikri Adam, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Jambi
Politisasi Hukum dan Budaya Main Hakim Sendiri: Dampak Rapuhnya Penegakan Aturan
Politisasi hukum dan maraknya budaya main hakim sendiri merupakan dua fenomena yang saling berkaitan dan samasama menunjukkan rapuhnya penegakan aturan dalam suatu negara. Ketika hukum kehilangan independensinya, masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap mekanisme formal penyelesaian masalah. Pada titik inilah tindakan vigilante muncul sebagai respons spontan sekaligus bentuk frustrasi sosial.
Politisasi hukum terjadi ketika proses penegakan hukum dipengaruhi oleh kepentingan politik. Hukum tidak lagi berdiri sebagai norma objektif, tetapi berubah menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan, menyerang lawan politik, atau mengamankan kepentingan kelompok tertentu. Dalam situasi seperti ini, lembaga penegak hukum—polisi, kejaksaan, hingga pengadilan—dipersepsikan tidak lagi netral. Setiap keputusan hukum dianggap sarat motif, bukan berdasarkan fakta dan aturan.
Kondisi tersebut menimbulkan dua dampak utama. Pertama, hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Ketika masyarakat melihat bahwa kasus tertentu diproses cepat karena menyangkut kepentingan politik, sementara kasus lain dibiarkan berlarutlarut, persepsi ketidakadilan semakin menguat. Kedua, ketidakpastian hukum meningkat. Warga tidak lagi merasa dilindungi oleh hukum, melainkan justru terancam oleh potensi kriminalisasi atau perlakuan tidak adil.
Di sisi lain, budaya main hakim sendiri muncul sebagai konsekuensi dari ketidakpercayaan tersebut. Ketika masyarakat merasa bahwa aparat lamban, tidak adil, atau tidak mampu memberikan rasa aman, mereka mengambil tindakan sendiri. Fenomena ini terlihat dalam berbagai kasus pengeroyokan terhadap pelaku kejahatan, perusakan properti, hingga tindakan vigilante oleh kelompok tertentu. Meskipun sering dianggap sebagai bentuk spontanitas, tindakan ini sebenarnya mencerminkan akumulasi kekecewaan terhadap sistem hukum.
Budaya main hakim sendiri membawa risiko besar. Ia mengabaikan prinsip praduga tak bersalah, membuka ruang bagi kekerasan yang tidak proporsional, dan berpotensi menimbulkan korban yang sebenarnya tidak bersalah. Selain itu, tindakan semacam ini memperkuat siklus ketidakpercayaan: semakin sering masyarakat bertindak sendiri, semakin sulit bagi negara untuk menegakkan otoritas hukumnya.
Kedua fenomena ini membentuk lingkaran setan. Politisasi hukum melemahkan kepercayaan publik, yang kemudian mendorong tindakan vigilante. Tindakan vigilante pada akhirnya semakin merusak legitimasi negara dalam menegakkan hukum. Untuk memutus siklus ini, negara harus mengembalikan independensi hukum, memperkuat integritas aparat, dan memastikan proses hukum berjalan transparan serta adil. Pada saat yang sama, masyarakat perlu didorong untuk kembali percaya pada mekanisme hukum formal melalui edukasi dan konsistensi penegakan aturan.
Rapuhnya penegakan hukum bukan hanya masalah teknis, tetapi ancaman serius bagi stabilitas sosial dan politik. Tanpa hukum yang kuat dan dipercaya, kehidupan bersama akan selalu berada di ambang kekacauan.






