KABARUPDATE.ID, Merangin – Dalam rapat panas antara PT Jebus Maju, DPRD, dan sejumlah perwakilan desa yang wilayahnya masuk dalam kawasan hutan produksi, muncul keputusan kontroversial, yakni masyarakat boleh memanfaatkan lahan, asal tidak menanam sawit.
Baca Juga: Panas Dingin! DPRD Merangin Turun Tangan, Warga Vs PT Jebus Maju Akhirnya Sepakat Sementara
Keputusan itu datang dari manajemen baru PT Jebus Maju yang menguasai konsesi hutan produksi sejak 2021 dan baru melakukan finalisasi aset pada 2023. Direktur PT Jebus Maju, Risgianto, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk kompromi terhadap praktik keterlanjuran warga yang sudah bertahun-tahun menggarap lahan eks penebangan kayu milik perusahaan sebelumnya.
“Kami paham ini jadi sumber penghidupan masyarakat. Jadi silakan dimanfaatkan, asal bukan sawit,” kata Risgianto.
Namun, pernyataan itu memantik tanda tanya, kalau tidak boleh sawit, lalu apa? Sebab, sebagian besar kebun yang ditanam warga sejak belasan tahun silam justru adalah sawit.
Kebijakan ini sepertinya masih setengah hati. Betapa tidak, alih-alih menyelesaikan akar persoalan agraria, PT Jebus terkesan ingin ‘main aman’. Membolehkan warga memanen hasil kebun, tapi dengan syarat tidak menguasai lahan, tidak menanam sawit, dan tidak membuka lahan baru.
“Kami tidak ingin ada perambahan, illegal logging, atau aktivitas tambang liar. Yang sudah produktif, silakan diambil hasilnya. Tapi jangan buka lahan baru dan jangan klaim kepemilikan,” tegas Risgianto.
Padahal fakta di lapangan menyebutkan, sekitar 800 hektar sudah dikuasai dan digarap masyarakat sejak lama. Namun tidak ada satu pun yang memiliki surat sah seperti SHM atau sporadik, karena kawasan itu termasuk dalam status hutan produksi.
Sebelumnya, warisan dosa manajemen lama ini bermula dari kisah aktivitas penebangan kayu oleh manajemen masa lalu untuk produksi vynil. Setelah kayu habis, lahan berubah menjadi open area dan tak lagi diawasi. Warga pun memanfaatkan lahan kosong itu untuk berkebun sawit dan karet, tanpa ada larangan.
Kini, saat manajemen baru masuk, mereka ingin merapikan aset. Namun yang terjadi justru ketegangan. Warga dianggap “ilegal”, tapi di saat yang sama mereka diizinkan panen tanpa kepastian hak atas tanah.
Dibolehkan Tapi Tak Diakui
IZIN PT Jebus untuk mengelola kawasan berlaku hingga 100 tahun. Tapi mereka juga menyatakan siap menyerahkan kepada pemerintah jika suatu saat negara memutuskan penggunaan ulang lahan. Sementara itu, masyarakat hanya diminta mematuhi aturan lingkungan, menanam pohon buah, dan tidak memiliki lahan secara hukum.
“Kalau bisa, jangan hanya ambil hasilnya, tapi bantu rawat hutan,” imbau PT Jebus.
Namun warga menilai kebijakan itu sebagai bentuk ketidakjelasan. Di satu sisi diberi harapan bisa bertani, tapi di sisi lain tidak ada pengakuan hukum atas tanah yang mereka rawat sejak lama.
Pertanyaan Besar: Siapa yang Punya Tanah Ini?
APAKAH kebun warga akan dianggap “ilegal” selamanya? Apakah larangan sawit ini benar-benar demi menjaga hutan atau bagian dari regulasi pusat yang justru merugikan petani kecil?
Dan yang paling krusial, sampai kapan warga boleh panen tanpa punya hak?
reporter: Rhomadan Cerbitakasa