Penulis : Fauzan Haryadi, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi 2025
Penetapan zona merah Pertamina di Jambi membuka kembali persoalan klasik dalam hukum pertanahan Indonesia: ketika kepentingan negara berhadapan langsung dengan hak kepemilikan rakyat. Masalahnya bukan semata soal keselamatan objek vital, melainkan bagaimana negara menjalankan kewenangannya tanpa mengorbankan kepastian hukum warga.
Banyak warga yang tanahnya telah bersertipikat Hak Milik (SHM) tiba-tiba dibatasi pemanfaatannya, bahkan diblokir di Kantor Pertanahan, hanya karena wilayahnya diklaim masuk zona merah. Di titik inilah negara harus diuji: melindungi rakyat atau justru mengaburkan haknya sendiri.
Secara hukum, SHM adalah dasar kepemilikan tanah terkuat. Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat dan harus dianggap benar selama tidak dibatalkan oleh putusan pengadilan. Artinya, keberadaan SHM tidak bisa disisihkan hanya dengan surat rekomendasi atau klaim sepihak, sekalipun oleh BUMN sebesar Pertamina.
Memang benar, semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Negara berwenang membatasi penggunaan tanah demi kepentingan umum dan keselamatan. Namun pembatasan bukan berarti penghapusan hak. Jika tanah warga yang sah ditetapkan masuk zona merah, maka negara wajib hadir dengan mekanisme hukum yang adil: pengadaan tanah, ganti rugi yang layak, atau kompensasi atas pembatasan hak.
Masalah muncul ketika pembatasan itu disertai pemblokiran SHM di Kantor Pertanahan tanpa dasar hukum yang memadai. Dalam aturan pertanahan, pemblokiran hanya sah jika ada sengketa di pengadilan, perintah aparat penegak hukum, atau penetapan hakim. Zona merah bukan alasan otomatis untuk memblokir sertipikat.
Kantor Pertanahan bukan lembaga pemutus sengketa. Ketika BPN memblokir SHM hanya karena surat atau permintaan instansi, maka yang terjadi bukan perlindungan objek vital, melainkan pengabaian asas kepastian hukum. Akibatnya, warga kehilangan hak menjual, mewariskan, atau menjaminkan tanahnya—tanpa pernah diputus bersalah oleh pengadilan.
Jika praktik semacam ini dibiarkan, negara sedang menciptakan preseden berbahaya: sertipikat bisa kehilangan makna hanya karena kebijakan administratif. Padahal, sertipikat diterbitkan oleh negara sendiri sebagai jaminan kepastian hukum.
Zona merah Pertamina seharusnya menjadi momentum koreksi, bukan justifikasi tindakan sewenang-wenang. Negara boleh membatasi, tetapi tidak boleh membungkam hak. Tanpa proses hukum dan tanpa ganti rugi, pemblokiran SHM adalah pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan perlindungan warga negara.
Pada akhirnya, persoalan ini bukan sekadar konflik lahan di Jambi, melainkan ujian komitmen negara: apakah sertipikat hak milik masih bermakna, atau hanya selembar kertas yang bisa dibekukan kapan saja.






